Ads 468x60px

Pages

Minggu, 24 April 2011

Koalisi KAM Rabbani-Independen dan Madani-Perjuangan

Kelompok Aspirasi Mahasiswa (KAM) Rabbani yang memperoleh suara terbanyak pada pemilihan umum sebelumnya memutuskan berkoalisi dengan KAM Independen pada Pemilihan Umum (Pemilu) USU tahun ini.

Koalisi ini mengusung Riko Putra yang merupakan kader dari KAM Rabbani sebagai presiden. Sedangkan wakilnya Dimas Tofan, berasal dari KAM Independen. Sulhan Taufik, Ketua KAM Rabbani USU menjelaskan, ini merupakan hal yang biasa dalam perpolitikan. “Kali ini kami (kedua KAM – red) memiliki kesamaan visi dan misi dan juga melihat peta perpolitikan yang ada,” ucapnya, Kamis (21/4).

Begitu juga dengan dua KAM lainnya yaitu KAM Madani yang berkoalisi dengan KAM Perjuangan. Kedua KAM ini mengirimkan kadernya yaitu Mitra Nasution sebagai calon presiden yang merupakan kader dari KAM Perjuangan dan sebagai wapresnya Fajar Soefany dari KAM Madani. Mitra,mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi 2004, ini menjelaskan akan membangun Pemerintahan Mahasiswa (Pema) USU sebagai visi dan misinya. “Kami akan mengembalikan fungsi pema sebenarnya,” ucapnya. (M Januar)
Menjelang akhir penutupan pendaftaran bakal calon (balon) presiden -wakil presiden (capres-wapres) mahasiswa pada Kamis (21/4), dua pasang bakal capres-wapres mahasiswa telah mendaftarkan diri.

Dua pasang bakal calon tersebut adalah Mitra Nasution-Fajar Soefany yang diusung oleh Kelompok Aspirasi Mahasiswa (KAM) Madani yang telah mendaftarkan diri sekitar pukul 1.30. Sedangkan pasangan berikutnya Riko Putra-Dimas Tofan yang diusung oleh KAM Rabbani mendaftar lima menit sebelum waktu pendaftaran ditutup.

Kedua pasang bakal capres-wapres tersebut akan diverifikasi pada esok hari dan diumumkan pada esok harinya juga. “Kami akan mengadakan rapat untuk menyatakan apakah para bakal calon lulus verifikasi atau tidak,” ucap Nurpanca Sitorus, Kamis (21/4).

Dari kedua pasang calon yang mendaftar, terdapat dua mantan anggota KPU USU. Dua orang tersebut adalah Riko Putra delegasi anggota KPU dari Fakultas Teknik dan Dimas Tofan dari Fakultas Ekonomi. (M Januar)

Minggu, 17 April 2011

PSMS Benamkan PSAP Sigli, Jaga Delapan Besar

Medan, suarausu-online.com — PSMS berhasil memenangi laga kontra PSAP Sigli dengan skor 2-0 di Stadion Teladan, Minggu (17/4). Dua gol yang dicetak PSMS dicetak pada babak kedua melalui kaki Ari Yuganda di menit 55 dan Rinaldo di menit 68.

Sejak awal pertandingan dengan skema 4-4-2 PSMS tampil menyerang. Baru saja sembilan menit pertandingan berjalan PSMS membuat pendukung terhenyak saat memperoleh peluang emas melalui sundulan Rahmad, pemain belakang PSMS setelah menerima umpan lambung Christian Gaston Castano. Namun sundulannya masih tipis di atas gawang PSAP Sigli yang dikawal Maskur.

Memasuki menit 22 PSMS berhasil memperoleh peluang emas berturut-turut. Tendangan keras Gaston setelah menerima umpan terobosan masih bisa dimentahkan penjaga gawang PSAP, menciptakan bola liar di luar kotak penalti, lalu disambut tendangan keras Alfian Habibi namun masih berada di atas gawang PSAP Sigli.

PSAP Sigli bukan tanpa peluang. Penyerang PSAP Sigli, Moussa Traore berhasil memperoleh peluang emas melalui tendangan kerasnya dua menit sebelum turun minum namun masih membentur mistar gawang PSMS yang dijaga Andi Setiawan.

Memasuki babak kedua PSMS masih terus menekan PSAP Sigli. Sepuluh menit babak kedua berjalan PSMS berhasil menciptakan gol melalui kaki Ari Yuganda ke pojok gawang PSAP Sigli setelah menerima umpan Donny.

Setelah unggul 1-0, PSMS tak mengendurkan serangan. Suharto, Pelatih PSMS, memasukan Almiro De Souza Valadares dan Rinaldo untuk menambah daya gedor serangan. Racikan Suharto berhasil menambah gol bagi PSMS. Rinaldo yang menggantikan Mahadi Rais mampu menambah angka bagi PSMS menjadi 2-0 setelah lepas dari perangkap off-side kemudian dengan mudah memasukan bola ke gawang PSAP Sigli.

Kemenangan ini membuat posisi PSMS berada di posisi tiga grup satu Divisi Utama Liga Indonesia dengan poin 42 selisih dua poin dengan peringkat dua. Kemenangan ini menjaga kesempatan PSMS menembus delapan besar. “Kita (PSMS- red) akan terus berusaha memepertahankan posisi ini,” ucapnya. (M. Januar)

Sabtu, 02 April 2011

Persma dan Pergerakan

Persma jangan terjebak dalam romantisme masa lalu. Seharusnya, persma harus bersikap dinamis dengan cara mengemas media agar dapat terus mengikuti perkembangan zaman. Hal itu bukanlah tugas mudah.

Berbicara tentang pers mahasiswa (persma) tak bisa dilepaskan dari pergerakan mahasiswa. Persma ikut mendukung penuh pergerakan mahasiswa untuk mengubah situasi yang semakin tidak kondusif. Masih hangat dalam ingatan kita ketika mahasiswa berhasil menggulingkan rezim Soeharto. Sampai saat itu persma berfungsi sebagai media informasi dan pergerakan mahasiswa yang dimotori senat mahasiswa sebagai mediator.
Persma dan pergerakan mahasiswa terus bergandengan tangan untuk menentang kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat, sampai pada peristiwa reformasi tahun 1998. Saking melekatnya persma dengan pergerakan mahasiswa sulit memisahkan keduanya. Hal ini didasari dari kesamaan visi dan misi. Keduanya berorientasi kritis terhadap ketimpangan sosial. Namun hal ini sungguh disayangkan ketika para penggiat persma banyak mencampur adukkan keduanya. Padahal keduanya mempunyai cara berbeda dalam melaksanakan fungsinya.
Persma mempunyai jalannya sendiri dalam bergerak. Tanpa harus turun ke jalan, persma sudah melakukan pergerakan dalam menjalankan visi dan misinya. Dengan memuat pemberitaan yang memonitori kaum birokrat, dan demi kepentingan rakyat, sebetulnya persma sudah melakukan fungsinya.
Kini sepertinya persma telah kehilangan arah. Tidak tahu harus berjalan ke mana. Karena segmentasi pasar persma telah hilang. Banyak dari mahasiswa sendiri tidak perduli dengan keberadaan persma. Persma yang masih bertahan harus bersikap dinamis tak hanya melulu mengikuti ego untuk mengikuti kemauan pasar.
Kita harus mengakui telah terjadi bias pada segmentasi pasar persma. Dahulu, di mana keadilan diabaikan persma tak hanya aktif di sekitar kampus saja. Persma aktif ikut melakukan pergerakan turun aksi kejalan untuk berada pada garda depan di samping menerbitkan media.
Memang ketidakadilan masih sering terjadi di sekitar kita. Bukannya melarang persma aktif turun ke jalan. Saya pikir persma akan kalah gaungnya dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi Masyarakat yang saat ini sangat aktif dan memang fokus pada permasalahan ketidakadilan. Jika aksi turun ke jalan itu dilakukan, penggiat persma tersebut harus melepaskan atribut persmanya.
Sebaiknya persma tidak terjerembab dalam lumpur masa silam yang justru membuat persma ditinggal pasarnya. Persma harus bersikap dinamis dan jangan selalu terjebak dalam romantisme persma masa lalu. Saya berpikir bahwa musuh persma saat ini ada di dalam tubuh persma itu sendiri.
Kini persma mempunyai tugas lebih berat dibandingkan persma masa lalu. Selain memerankan fungsinya sebagai pers alternatif, persma juga harus beradaptasi dengan pasarnya dan mencari cara bagaimana mengemas media lebih baik agar tak ditinggal pasarnya. Saya pikir itu adalah pekerjaan rumah pertama yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Sebelum aksi turun ke jalan. Sebab, jika media kita tak sampai pada para pembaca atau pendengar untuk apa persma ada?
Meski zaman telah berubah, persma harus berperan sebagai mercusuar kala media main stream tak lagi memiliki sikap indepen dan hanya mengikuti si empunya media itu sendiri. Coba kita perhatikan media main stream saat ini. Persma harus bersikap kritis yang kuat dan dalam terhadap permasalahan di kampus, sebagai pengontrol orang rektorat hingga isu nasional. Persma akan terus hidup sebagai media alternatif karena memiliki ideologi yang kuat dan tidak dipengaruhi oleh kepentingan pemodal. Tak seperti media main stream saat ini. Hidup Pers Mahasiswa! (M. Januar)

Ironi Kampus ‘Rakyat’

Istilah kampus rakyat saya dapat ketika mewawancarai seorang narasumber yang merupakan salah satu petinggi di jajaran rektorat. Ia menjelaskan USU merupakan kampus yang paling murah dari segi Sumbangan Pendidikan untuk Pembangunan (SPP). Namun pantaskah USU disebut sebagai kampus rakyat? Melihat biaya pendidikan sudah dinaikkan, sumbangan sana-sini diterapkan beberapa fakultas dan kebijakan-kebijakan yang tak berpihak pada masyarakat.

Aksi mahasiswa di depan gedung rektorat beberapa waktu lalu yang menentang kenaikkan SPP untuk mahasiswa 2010 tampaknya tak terlalu berlebihan. Pasalnya, SPP yang naik dua kali lipat, yakni sebesar Rp 1.500.000 untuk mahasiswa non-eksakta dan Rp 2.000.000 pertahun untuk mahasiswa eksakta. Meskipun SPP USU termasuk murah dibandingkan dengan universitas negeri lain namun harta pendapatan yang USU miliki seperti perkebunan dan kerjasama-kerjasama sudah memiliki hasil yang besar daripada harus menaikkan SPP. Tampaknya ini merupakan kebijakan yang keliru oleh universitas yang berlabelkan kampus rakyat.

Ketika kebijakan SPP sudah berjalan hampir selama satu tahun, tak ada perubahan yang terasa terkait dengan sarana dan prasarana di kampus. Di kelas-kelas masih sering kekurangan kursi untuk menampung mahasiswa yang selalu bertambah setiap tahunnya. Bahkan beberapa departemen di Fakultas Sastra dosen-dosen tak memiliki meja kerja sendiri. Lalu beberapa laboratorium di fakultas yang peralatan-peralatannya semakin lapuk ditelan zaman. Mahasiswa tidak bisa belajar secara maksimal karena harus bergantian menggunakan alat-alat yang ketersediaannya tak sesuai dengan kuantitas mahasiswa.

Tak hanya di pusat, ditingkat fakultas pun mahasiswa muali ‘diperas’. Fakultas Farmasi misalnya, mahasiswa yang memiliki kendaraan bermotor roda dua diwajibkan membayar uang Rp 75 ribu per bulannya dengan alasan ketertiban. Bukankah sepeda motor merupakan kendaraan yang paling banyak digunakan oleh masyarakat menengah ke bawah?

Fakultas Ekonomi pun terlebih dahulu menerapkan kebijakan setiap kendaraan bermotor wajib membayar Rp 15 ribu sebagai pembuatan kartu kendaraan. Kartu kendaraan ini pun dengan sangat tegas mengatakan kendaraan yang hilang bukan tanggung jawab pihak fakultas. Jadi, untuk apa sebenarnya kartu ini dibuat.

Ironi memang. Seharusnya fakultas yang menciptakan sumber daya manusia menjadi seorang ekonom-ekonom, mampu memperbaiki perekonomian di negara ini justru menciptakan kebijakan-kebijakan yang jelas tak berorientasi pada rakyat yang dalam permasalahan ini adalah mahasiswa. para mahasiswanya pun tak memberikan reaksi pada hal ini. Jelas, ini akan menjadi contoh bagi mereka di kemudian harinya.

Akhir-akhir ini tampaknya kampus rakyat ini semakin tak berorientasi pada rakyat. Aksi kucing-kucingan antar satpam dan pedagang sering jadi tontonan di kampus ini. Satpam dengan mobil dinasnya mengejar-ngejar pedagang pecal, rujak, bakso goreng dengan sepedanya. Miris, alasan mereka adalah agar USU terlihat sebagai kampus akademis.

Padahal mahasiswa merasa sangat terbantu dengan adanya para pedagang ini. Ketika kantin-kantin di fakultas menetapkan harga yang tak terjangkau para mahasiswa yang datang ke sini harus menjual sepetak tanahnya di kampung maka para pedagang itulah alternatif mereka yang sesuai dengan uang di sakunya. Dengan tidak bolehnya para pedagang masuk ke dalam lingkungan USU jelas akan menutup pendapatan masyarakat yang memang mengandalkan penjualannya di USU agar dapur mereka tetap ngebul.

Inilah penyakit USU sebenarnya. Hanya mempedulikan tampilan luarnya saja agar terlihat sebagai tempat akademis padahal di dalamnya terdapat sistem busuk dan bobrok yang benar-benar tidak berorientasi pada masyarakat.

Sebaiknya USU jangan seperti kacang lupa kulit, ketika menerapkan kebijakan sebaiknya berorientasi pada masyarakat bukannya pada kepentingan ekonomi semata.



Penulis adalah Redaktur SUARA USU 2011

Akhir Cerita

Tinta ini telah ku tuliskan

Tak mungkin ke kembali ke awal

Kertas ini hampir penuh

Tinggal kalimat penutup yang perlu ku tuliskan

Tinggal perlu ku siapkan saja tinta cadangan

Ingin rasanya ku menyelesaikannya

Tapi aku masih belum siap untuk membacakan akhir ceritanya



M Januar

Tanpa Kopi “A”

Pagi ini dingin terasa

Angin Februari masih berhembus mesra

Bulu-bulu bergidik kaku renta

Tak bertenaga

Pagi ini terasa berbeda

Tanpa kopi di meja

Bukan karena habis gula

Tapi tak ada rasa

Kini sudah bulan ketiga

Bulan penuh rasa

Ingatkah ketika kita duduk diam tanpa kata

Saling berbisik canda

Pria muda terpaku di depannya

Memandang wajah penuh dengan kata-kata cinta

Cinta penuh emosi jiwa

Tapi apakah kau merasa?



Pria penggemar air putih.